Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar mencatat, ada 12 perusahaan tambang yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Pangkalan Koto Baru. “Untuk Sumbar, Pangkalan menjadi kecamatan paling masif dan paling banyak ditemukan izin tambangnya. SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) di Pangkalan itu, untuk pertambangan sirtu, andesit, batubara, dan timah hitam, sudah mencapai 1.799,41 hektare,” kata peneliti Walhi Sumbar, Tommy Adam, saat dihubungi Padang Ekspres, Rabu (15/07).

Walhi Sumbar mengkhawatirkan, aktifitas tambang di Pangkalan, bisa berdampak terhadap lingkungan. Mengingat, Pangkalan merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahat Hulu (Batang Maek-red) dan DAS Kampar. Sementara, DAS Mahat Hulu dengan luas 28.535,49 hektare yang didalamnya termasuk wilayah Pangkalan, merupakan 1 dari 108 DAS prioritas berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Kemenhut) Nomor SK 328/Menhut-II/2000 Tahun 2000 tanggal 12 Juni 2020 tentang Penetapan DAS Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014.

“Dasar pertimbangan SK Kemenhut itu adalah kawasan DAS sudah bermasalah dari aspek hidrologi, vegetasi, serta adanya fasilitas publik atau aset negara yang harus diselamatkan. SK Menhut tersebut juga berperan sebagai acuan bagi dinas atau instansi terkait, dalam upaya penetapan skala prioritas kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Termasuk di dalamnya penyelenggaraan reboisasi, penghijauan, serta konservasi tanah dan air, baik vegetatif, agronomis, struktural, maupun manajemen,” kata Tommy Adam.

Berdasarkan penelitian WALHI Sumbar, di dalam kawasan DAS Mahat, selain terdapat aset negara berupa PLTA Kotopanjang, juga terdapat berbagai aktifitas ekonomi masyarakat. Aktifitas ekonomi itu tidak hanya pertanian lahan basah, perkebunan, dan perikanan, namun juga diduga ada aktivitas perambahan hutan. “Dugaan ini menguat, dengan adanya kasus illegal logging di DAS Mahat itu pada 2018 lalu,” ujar Tommy.

Walhi Sumbar juga mencatat, aktifitas ekonomi di DAS Mahat, membuat kebutuhan lahan baru menjadi meningkat. “Ini dapat dilihat dari semakin masifnya penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan gambir di DAS Mahat tersebut. Degradasi dan deforestasi lahan ini, meningkatkan erosi tanah dan aliran permukaan yang pada gilirannya meningatkan fluktuasi aliran sungai, sendimentasi di hilir, banjir di musim hujan, dan kekeringan di musim kemarau,” sebut Tommy Adam.

Dia menyebut, persoalan masifnya perubahan tutup lahan hutan di DAS Mahat ini semakin diperparah dengan adanya izin tambang. “Izin tambang yang begitu banyak di Pangkalan, tidak hanya jadi kajian Walhi, tapi juga disayangkan para pakar lingkungan seperti Profesor Bujang Rusman dan Indang Dewata, dalam zoom meeting yang digelar Walhi Sumbar, baru-baru ini. Bahkan, Profesor Werry Darta Taifur dan akademisi lainnya asal Limapuluh Kota yang ikut seminar online itu, juga menyayangkan maraknya izin tambang di Pangkalan,” kata Tommy Adam.

Atas kondisi pula itu, menurut Tommy, Walhi Sumbar tetap konsen meminta pemerintah menghentikan izin tambang baru di DAS Mahat, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Limapuluh Kota. Permintaan Walhi ini, tentu bukan atas dasar suka atau tidak suka dengan perusahaan yang mengurus izin tambang tersebut, namun lebih semata kepada faktor penyelamatan lingkungan. Disamping, tentunya juga ada aspirasi masyarakat, seperti Persatuan Keluarga Pangkalan (PKP).