Hal itu diungkapkan anggota Komisi VI DPR Nevi Zuairina ketika kunjungan kerja dalam rangka reses masa persidangan IV 2019-2020, Senin (20/07/2020).
“NKRI harus berkejaran dengan waktu untuk ketahanan energi, pangan dan obat. Apalagi sekarang Indonesia masih impor bahan baku obat (BBO) 90-95 %. Bangladesh saja yang negara kecil dengan jumlah penduduk relatif kecil dibanding Indonesia, telah memiliki 21 pabrik BBO,” ujar Nevi.
Politisi PKS ini menjelaskan, dengan memperkuat industri hulu di bidang obat-obatan, negara Indonesia diharapkan mampu menurunkan 40% impor BBO.
Kementerian Perindustrian mesti memberikan kontribusi dalam mewujudkan pabrik-pabrik baru bahan baku obat sebagai bukti keberpihakan pemerintah kepada negara pada bidang kesehatan.
Nevi melanjutkan, dengan mandiri dan daulatnya akan dunia kesehatan terutama obat-obatan, maka akan menghemat anggaran triliunan rupiah.
Berdasarakan catatan yang ia terima, impor bidang farmasi Indonesia pada 2017 tercatat mencapai 26.160 ton dengan nilai USD665,53 juta. Kemudian meningkat di 2018 dengan nilai 28.720 ton dengan nilai USD715,57 juta.
Politisi PKS ini menekankan bahwa, permasalahan obat di Indonesia bukan hanya pada kapasitas untuk memproduksi bahan baku farmasi, akan tetapi kapasitas pengadaan bahan baku kimia atau biologis untuk proses sintesis dan purifikasi saat produksi bahan baku yang masih banyak yang bergantung pada impor.
“Angka ketergantungan impor bahan baku obat ini akibat tidak kuatnya industri kimia dasar di Indonesia. Kurangnya daya saing dan tingginya biaya pengembangan industri kimia dasar menjadi faktor penyebab,” imbuhnya.
Ia menambahkan, sejak bertahun-tahun, bahan farmasi Indonesia 90 persen masih impor dengan alasan tidak mudah untuk mengembangkan bahan baku obat. Butuh senyawa-senyawa kimia yang secara spek harus sintetis dan spesifikasinya standar obat.
“Kita terlalu terlena pada persoalan bahan baku obat ini. Bertahun-tahun perusahaan farmasi kita mendapatkan untung cukup besar seperti Kimia Farma mampu mendapat laba Rp 491,56 miliar Tahun 2018. Kini semua perusahaan anjlok labanya, bahkan ada yang rugi dan baru sadar bahwa industri hulu obat-obatan sangat penting dalam mempertahankan industri farmasi kita,” tukas Nevi.
Legislator Sumatera Barat II ini mempertegas kepada Kementerian Perindustrian, ke depan perlu serius berkontribusi BBO di hulu dan mengembangkan obat tradisional. Apalagi Indonesia memiliki aneka ragam hayati sebagai negara tropis yang kaya sumber saya alam.
“Kemandirian bahan baku obat harus menjadi visi kedepan selain kemandirian pangan dan energi,” tukasnya.
Menurut Nevi, jangan sampai kalah terus dengan negara lain dalam persoalan obat ini. Sebagai gambaran ia mengatakan, vaksin Covid-19 dari sinovac China telah tiba di Indonesia untuk uji klinis ke 3 di Indonesia. Uji klinis 1 dan 2 telah dilakukan di negara China. Semua berharap uji klinis ini menghasilkan vaksin Covid-19 dengan cepat.
“Bila negara kita mampu menyediakan bahan baku vaksin ini yang bila tidak ada halangan awal Januari 2021 akan diproduksi besar besaran untuk masyarakat Indonesia, kita tidak perlu impor. Sehingga selain wabah Covid-19 19 ini cepat berlalu, secara ekonomi negara kita tetap bertahan,” jelasnya.