Jakarta,- Dalam seminggu terakhir, beberapa indikator makro menunjukkan sentimen positif, di antaranya rupiah yang semakin menguat, sampai hari menyentuh di bawah 14.000. Sedangkan IHSG sudah melompat di atas 5.000.
Ajib Hamdani, Ketua Bidang II BPP HIPMI, mengatakan indikator-indikator menarik untuk dikaji lebih lanjut, apakah penguatan ini disebabkan oleh kebijakan dalam negeri yang memang mendapat perhatian positif dari pelaku pasar, atau karena kondisi global yang mengalirkan casflow ke Indonesia sehingga memperbaiki indikator makro tersebut.
“Kebijakan makro, bisa kita lihat karena kebijakan Quantitative Easing oleh The Fed yang terus melakukan intervensi moneter untuk menggerakkan pasar secara lebih efisien karena kepanikan covid19, dengan membanjiri likuiditas.
Kebijakan The Fed di sisi lain yang akan memangkas suku bunga mendekati 0%, akan efektif menggerakkan likuiditas mengalir ke sektor riel,” kata Ajib, Selasa, (09/06/2020).
Lanjut Ajib, Seharusnya pemerintah menangkap kesempatan ini, untuk memperkuat perekonomian dalam negeri. Transformasi Ekonomi adalah gagasan Pak Jokowi yang perlu secara konsisten diterjemahkan menjadi program nyata di lapangan.
kepada sumber daya alam, selanjutnya perlu digeser ke sektor manufaktur, hilirisasi, dan pembuatan nilai tambah atas komoditas-komoditas unggulan yang mempunyai comparative advantages.
“Pemerintah harus lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk sisi supply yang menggerakkan produktivitas, tetapi harus secara masif ke sektor UKM, sehingga multiplier effect nya akan mengungkit kemampuan demand nya karena ekonomi akan kembali berputar,” tambah Ajib.
Sektor pertanian, sektor maritim dan sektor UKM adalah sektor prioritas yang perlu digenjot. Relaksasi kredit dan penambahan working capital akan menjadi pengungkit ekonomi sektor ini.
Ajib juga membandingkan dengan alokasi untuk BUMN, alokasi untuk UKM lebih memberikan daya ungkit ekonomi positif, karena ekonomi sektor UKM ini mempunyai efisiensi tinggi dan berdampak ke kemampuan disposible income masyarakat secara langsung dibandingkan dengan BUMN.
“Ketika masih terjadi perdebatan dan Indonesia tidak berani melakukan quantitative easing sendiri karena kekhawatiran inflasi, pemerintah bisa menangkap positif kebijakan quantitative easing The Fed dan negara eropa, untuk memperkuat transformasi ekonomi untuk penguatan ekonomi dalam negeri,” tutup Ajib kepada awak media di Jakarta.
Dengan size ekonomi yang potensial terus membesar dan konsistensi hilirisasi ekonomi yang berkelanjutan, justru selanjutnya kita menunggu keberanian pemerintah untuk melakukan quantitative easing sendiri untuk memenuhi kebutuhan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.